Prixa.ai - 10 Maret 2022
Ditulis oleh Kumara Anggita

Prixa, Jakarta - Mencapai sesuatu yang diingin-inginkan dengan usaha sendiri seharusnya buat seseorang bahagia dan puas. Namun ternyata ada lho orang yang justru malah merasakan hal yang sebaliknya. Ini disebut dengan imposter syndrome.
Imposter Syndrome adalah pola ketika seseorang terus mempertanyakan kemampuan, prestasi, bakatnya sendiri. Biasanya ini terjadi pada dia yang berprestasi dan lebih sering terjadi pada perempuan.
Ia mungkin akan bertanya-tanya dan meragukan dirinya. "Apakah aku benar-benar pantas mendapatkan penghargaan tersebut? Nampaknya saya menipu banyak orang karena mungkin saya hanya beruntung".
Tanda-tanda Imposter Syndrome
Dikutip dari Very Well Mind, ada beberapa karakteristik seseorang memiliki imposter syndrome antara lain:
Tidak bisa secara realistis menilai kompetensi dan keterampilan diri sendiri
Suka menghubungkan kesuksesan atau prestasi yang kamu dapat dengan faktor eksternal -Takut tidak sesuai ekspektasi
Berprestasi secara berlebihan
Suka sabotase kesuksesan sendiri
Berekspektasi terlalu tinggi dan kecewa ketika gagal
Penyebab Imposter Syndrome
Ada beberapa hal yang bisa memicu imposter sydrome atau memperburuknya seperti:
Lingkungan masa kecil dan pengaruh orang tua
Orang tua mungkin menuntut anak untuk berprestasi, suka membandingkan dengan saudara lain, terlalu mengendalikan, protektif, dan suka mengritik kesalahan dengan tajam.
Kepribadian
Beberapa orang memang sudah memiliki kecenderungan perfeksionis, memiliki skor yang lebih tinggi pada ukuran neurotisme, atau memiliki skor yang lebih rendah pada ukuran kesadaran. Hal ini bisa menguatkan kecenderungan imposter syndrome.
Tanggung jawab baru
Masuk ke karier atau lingkungan akademis baru bisa membuat beberapa orang merasa tidak pantas.
Ketakutan-ketakutan tidak bisa memenuhi harapan pun bisa muncul dan ini bisa memperkuat perasaan palsu yang tidak sehat.
Mengapa Imposter Syndrome lebih sering terjadi pada perempuan?
Imposter Syndrome memang terjadi karena berbagai faktor. Namun, ternyata bias gender dan rasisme seringkali juga berperan.
Penelitian dari PubMed Central menunjukkan bahwa perasaan ini cenderung lebih sering muncul pada perempuan dan orang kulit berwarna. Dengan kata lain, ini sering terjadi pada orang-orang yang umumnya kurang terwakili dalam lingkungan profesional.
Bias yang dirasakan membuat seseorang mungkin jadi bekerja lebih keras supaya keberadaanmu bisa dianggap. Stereotip yang sudah ada di kehidupan profesional, pada akhirnya membuat seseorang jadi lebih fokus pada kesalahan dan meragukan kemampuannya sendiri.
Tipe Imposter Syndrome, Kamu yang Mana?
Ketika kamu ragu akan dirimu, bukan berarti kamu pasti mengalami Imposter Syndrome ya. Namun, kamu mungkin ingin tahu tipe-tipe Imposter Syndrome seperti apa, barangkali kamu salah satunya.
Perfeksionis
Kamu merasa apa yang kamu kerjain tidak pernah cukup memuaskanmu karena kamu maunya sempurna. Hasilnya, kamu stres dan memiliki kecemasan tinggi.
Superhero
Kamu sering banget gak puas dengan pemahamanmu sehingga kamu berkerja keras untuk meningkatkannya. Bagus memang berkembang, tapi sesungguhnya kamu jadi meremehkan diri sendiri padahal sudah cukup ok.
The natural genius atau jenius alami
Mereka biasanya memiliki ekspektasi terlalu tinggi terhadap dirinya sendiri. Saat tidak kesampaian, hancurlah akhirnya perasaan.
Solois
Kamu suka apa-apa sendiri temasuk saat konteksnya bekerja. Kamu ngerasa bahwa harga dirimu terbangun dari produktivitas semata, minta bantuan menurutmu adalah sebuah kelemahan.
Cara menghadapi Imposter Syndrome
Tentunya ada cara yang bisa membuat kamu jadi sadar tentang masalah ini. Perlu dipahami, mecetak lebih banyak prestasi bukanlah cara yang bisa memperbaiki situasi. Dikutip dari healthline kamu bisa mencoba beberapa strategi yang bisa mengarahkanmu menjadi lebih baik seperti:
Mengakui perasan
Menyadari bahwa kamu mengalami masalah ini adalah langkah awal yang bisa sangat membantu. Jangan denial dan akui perasaanmu yang sesungguhnya. Menemukan jawaban ini sendiri mungkin sulit, karena itu kamu bisa coba berbicara dengan teman atau mentor yang kamu percaya untuk melihat konteks secara lebih objektif, membagikan perasaan palsu tersebut agar kamu tidak overwhelmed, atau berkonsultasi dengan psikolog.
Bangun koneksi
Jangan simpan semuanya sendiri dan mulailah untuk membangun koneksi dengan orang lain yang kamu bisa percayai. Mereka bisa memberikan dukungan, bimbingan, dorongan untuk tumbuh, dan memvalidasi kekuatanmu.
Cross-check perasaan
Perasaan palsu ini perlu disaring dengan pikiran yang jernih. Saat itu muncul, coba tanyakan apakah ini berdasarkan fakta atau bukan. Cari bukti untuk melawannya.
Jangan bandingkan dengan orang lain
Penting untuk diingat bahwa kamu tidak selalu bisa melakukan semuanya. Percayalah bahwa kamu unik, begitu juga dengan orang lain.
Ketika orang lain mungkin lebih jago melakukan sesuatu, jangan berkecil hati dulu. Jadikan pengalaman ini sebagai jalan untuk belajar bukan untuk merendahkan diri sendiri.
Bila kamu merasa sulit untuk memproses perasaan itu sendiri dan butuh bantuan untuk mencari solusi, kamu bisa memanfaatkan layanan telekonsultasi terbaru Prixa dengan psikolog. Ceritakan semua keluh kesahmu hanya dengan klik tombol dibawah.
Referensi:
Harvard Business Review. Diakses pada 2022. Stop Telling Women They Have Imposter Syndrome
Very Well Mind. Diakses pada 2022. What is Imposter Syndrome?